Pengelolaan Wakaf di Indonesia



BAB  I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah
Di tengah permasalahan sosial masyarakat Indonesia dan tuntutan akan kesejahteraan ekonomi dewasa ini, eksistensi lembaga wakaf menjadi sangat urgen dan strategis. Di samping sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang berdimensi spiritual, wakaf juga merupakan ajaran yang menekankan pentingnya kesejahteraan ekonomi (dimensi sosial). Oleh karena itu sangat penting dilakukan pendefinisian ulang terhadap wakaf agar memiliki makna yang lebih relevan dengan kondisi riil persoalan kesejahteraan.
Perbincangan tentang wakaf sering kali diarahkan kepada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan, pohon untuk diambil buahnya, sumur untuk diambil airnya. Dan dari segi pengamalan wakaf, dewasa ini tercipta suatu image atau persepsi tertentu mengenai wakaf, yaitu pertama, wakaf itu umumnya berujud benda bergerak khususnya tanah yang di atasnya didirikan masjid atau madrasah dan penggunaannya didasarkan pada wasiat pemberi wakaf (wâkif) dengan ketentuan bahwa untuk menjaga kekekalannya tanah wakaf itu tidak boleh diperjualbelikan dengan konsekuensi bank-bank tidak menerima tanah wakaf sebagai anggunan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Perkembangan Wakaf di Dunia Islam?
2.      Bagaimana Peraturan dan PengelolaanWakaf di Indonesia?
3.      Apakah Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan Harta Wakaf?
4.      Apa saja Syarat-syarat wakaf?
5.      Contoh pengelolahan Tanah Wakaf?


BAB II
PEMBAHASAN

1.      Perkembangan Wakaf di Dunia Islam
            Wakaf adalah salah satu lembaga islam yang potensial untuk dikembangkan, khususnya di Negara-negara berkembang. Berdasarkan pengalaman Negara yang lembaga wakafnya sudah maju, wakaf dapat dijadikan salah satu pilar ekonomi. Meskipun wilayah islam terpecah-pecah sebagai akibat penjajahan, namun harta wakaf yang ada di wilayah-wilayah islam yang sudah merdeka tetap terpelihara dengan baik.[1]
Turki adalah salah satu Negara yang mempunyai sejarah perwakafan yang sangat menarik untuk dipelajari. Sejak masa Turki Usmani, wakaf telah menghidupi berbagai pelayanan public dan menopang pembiayaan berbagai bangunan seni dan budaya. Selama pemerintahan republik, dengan mengadopsi hukum sipil (hukum no. 903), wakaf telah memperoleh identitas baru. Berdasarkan hukum tersebut, pemerintah Republik Turki membentuk Direktorat Jenderal wakaf yang bertugas menjalankan semua tugas kementerian wakaf yang dahulu berlaku pada era kesultanan Turki Utsmani. Bahkan pada tahun 1983, di Turki di bentuk kementrian wakaf untuk mengawasi tata kelola wakaf. Pada tahap ini, semua wakaf di Turki di atur berdasarkan peraturan perundang-undangan.
 Di Bangladesh wakaf tunai memiiki arti yang sangat penting dalam memobilisasi dana bagi pengembangan wakaf properti. Social investment Bank Ltd (SIBL) mengintrodusir sertifikat wakaf tunai, suatu produk baru baru dalam sejarah perbankan. Di Bangladesh SIBL membuka peluang kepada masyarakat untuk membuka rekening deposito wakaf tunai dengan tujuan mencapai yaitu: menjadikan perbankan fasilitator untuk menciptakan wakaf tunai dan membantu dalam pengelolahan wakaf, membantu memobilisasi tabungan masyarakat, meningkatkan investasi sosial dan mentransformasikan tabungan masyarakat menjadi modal, memberikan manfaat kepada masyarakat luas terutama golongan miskin, dengan menggunakan sumber sumber yang di ambilnya dari golongan orang kaya, meniptakan kesadaran diantara orang kaya tentang tanggung jawab social mereka terhadap masyarakat, membantu pengembangan Social Capital Market, membantu usaha-usaha pembangunan bangsa secara umum dan membuat hubungan yang unik antara jaminan social dan kesejahteraan masyarakat.
Di Kuwait wakaf sudah setua eksistensi kebudayaan orang-orang Kuwait. Pada awalnya asset wakaf di Kuwait hanya meliputi mesjid, rumah-rumah tua, dan uang yang terbatas. Namun setelah ditemukan sumber minyak, nilai wakaf yang berbentuk property berkembang pesat. Banyak wakaf property di jadikan kompleks komersial, bangunan permukiman, pertokoan dan pusat rekreasi. Pada tahun 1921 pemerintah Kuwait membentuk Departemen Wakaf, pada tahun 1948 departemen ini member tugas untuk mengelolah tempat tempat ibadah dan merawat orang orang yang lemah.
Sejak tahun 2000, wakaf mulai banyak mendapat perhatian di Indonesia, baik dari praktisi, akademis maupum pemerintah. Kondisi ini di tengarai dengan adanya berbagai tulisan di media masa, baik cetak maupun elektronik[2]. Wakaf uang penting sekali untuk di kembangkan di Indonesia saat ini kondisi perekonomian kian memburuk. pendapatan yang di peroleh dari pengelolahan wakaf tersebut dapatdi belanjakanuntuk berbagai tujuan yang berbeda-beda, seperti keperluan pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, untuk pemeliharaan harta-harta wakaf, dan lain-lain. Jika ada lembaga wakaf yang mampu mengelolah wakaf uang secara professional, maka lembaga ini merupakan saran baru bagi umat islam untuk beramal. [3]
2.      Peraturan dan PengelolaanWakaf di Indonesia
Pengaturan wakaf di Indonesia sebelum kedatangan kaum penjajah dilaksanakan berdasarkan ajaran Islam yang bersumber dari kitab fikih bermazhab syafi’i. Oleh karena masalah wakaf ini sangat erat kaitannya dengan masalah sosial dan adat di Indonesia, maka pelaksanaan wakaf itu disesuaikan dengan hukum adat yang berlaku di Indonesia, dengan tidak mengurangi nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam wakaf itu sendiri.
Lahirnya undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Agraria telah memperkokoh eksistensi wakaf di Indonesia. Dalam pasal 49 undang-undang tersebut dijelaskan bahwa untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya dapat diberi tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan hak pakai, perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah. Untuk memberi kejelasan hukum tentang wakaf dan sebagai realisasi dari undang-undang ini, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Dalam PP ini dikemukakan bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dapat digunakan sebagai salah satu sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya bagi umat yang beragama Islam dalam rangka mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Lahirnya PP ini disebabkan karena peraturan yang lama tentang pengaturan wakaf dianggap belum memadai dan belum memenuhi kebutuhan tentang tata cara pengaturan wakaf di Indonesia.
Sejak berlakunya PP Nomor 28 Tahun1977 ini, maka semua PERPU tentang perwakafan sebelumnya, sepanjang bertentangan dengan PP ini dinyatakan tidak berlaku lagi. Sedangkan hal-hal yang belum diatur, akan diatur lebih lanjut Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan bidang wewenang dan tugas masing-masing. Langkah-langkah yang telah diambil oleh Departemen Agama sehubungan dengan tebitnya PP Nomor 28 tahun 1977 ini antara lain[4]:
1.      Mendata seluruh tanah wakaf hak milikdiseluruh wilayah tanah air guna menetukan tolak ukur pengelolaan, pemberdayaan dan pembinaannya;
2.      Memberikan sertifikat tanah wakaf yang belum disertifikasi dan memberikan advokasi terhadap tanah wakaf yang bermasalah.
Menurut data yang dimiliki oleh Departemen Agama, pelaksanaan wakaf di Indonesia sampai tahun 1989 masih didominasi pada penggunaan untuk tempat-tempat ibadah seperti mesjid, pondok pesantren, mushola dan keperluan ibadah lainnya. Sedangkan penggunaan pemanfaatan untuk peningkatan kesejahteraan umum dalam bidang ekonomi masih sangat minim, bukan benda-benda produktif yang dapat mendatangkan keejahteraan umat. Menyadari tentang kekurangan ini, Departemen Agama beserta Majelis Ulama, dan pihak terkait lainnya telah berupaya memperdayakan tanah-tanah tersebut dari pengelolaan tradisional konsumtif menjadi profesional produktif dengan cara penyuluhan hukum wakaf kepada masyarakat, menyusun RUU tentang wakaf yang sesuai dengan perkembangan masa kini dan mewujudkan Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga yang mengelola wakaf secara nasional.
Pada tanggal 27 Oktober 2004 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 159. Dalam UU ini diatur hal penting tentang pengembangan wakaf, terutama tentang masalah nadir, harta benda yang diwakafkan, peruntukan harta wakaf, serta perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia dan juga tentang wakaf tunai dan produktif.dalam UU ini, benda wakaf tidak hanya benda tidak bergerak saja, tetapi juga termasuk benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa, dan lain-lain sesuai dengan ketentuan syariat Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5]
Dalam penjelasan umum UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf dijelaskan bahwa salah satu langkah stategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syari’ah.[6]
Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan nadir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.
Berdasarkan pertimbangan di atas dan untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam rangka pembangunan hukum nasional, maka perlu dibentuk UU wakaf. Pada dasarnya ketentuan mengenai perwakafan berdasarkan syari’ah dan PERPU dicantumkan kembali dalam UU ini, namun terdapat pula berbagai pokok pengaturan yang baru.
Salah satu pertimbangan dikeluarkan UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf adalah perlu ditingkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomis yang berpotensi, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Supaya hal ini dapat berjalan dengan baik sebagaimana yang diharapkan maka perlu menggali dan mengembangkan potensi yang terdapat dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat ekonomis.[7]
Pemberdayaan dan pengembangan wakaf produktif merupakan hal yang baru dalam perkembangan wakaf di Indonesia. Agar hal ini dapat terlaksana dengan baik, maka diperlukan organisasi pengelola wakaf yang mampu menjalin kemitraan dengan lembaga lain yang peduli terhadap dunia wakaf. Selama ini terlihat pemberdayaan dan pengembangan wakaf mengalami banyak hambatan dan rintangan, terutama dalam hal pengelolaan wakaf yang tidak produktif sehingga kurang dirasakan manfaatnya kepada masyarakat yang memerlukannya. Oleh karena itu pemberdayaan pemberdayaan dan pengembangan wakaf harus diarahkan kepada wakaf produktif melalui manajemen yang sesuai dengan syariat Islam dengan menggerakkan seluruh potensi yang terkait. Organisasi wakaf yang dikembangkan dalam PERPU saat ini harus merespon segala persoalam yang dihadapi masyarakat pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Persoalan masyarakat yang paling mendasar adalah kemiskinan, yang mempunyai dampak kepada masalah lain seperti kesehatan, pendidikan, dan pemenuhan HAM pada umumnya.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka perlu mengubah pola pikir masyarakat tentang pemahaman wakaf yang saat ini lebih terfokus kepada hal yang konsumtif seperti untuk kepentingan pembangunan sarana dan prasarana ibadah, misalnya mesjid, mushola, madrasah, majelis taklim, yayasan yatim piatu, kuburan dan sebagainya. Pemahaman wakaf saat ini harus berorientasi kepada wakaf produktif, tidak hanya untuk kepentingan peribadatan tetapi lebih ditekankan kepada kepentingan masyarakat seperti pembangunan perumahan, perkantoran, pasar swalayan, industri, penanaman bibit unggul, perikanan, dan sebagainya yang hasilnya digunakan untuk kepentingan masyarakat dalam menuntaskan kemiskinan.
UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf telah mengakomodir segala hal yang berhubungan tentang wakaf menuju kepada wakaf produktif. PERPU ini telah mempersiapkan seluruh potensi wakaf yang ada di tanah air secara produktif bersamaan dengan lajunya perubahan struktur masyarakat modern yang lebih banyak bertumpu pada sektor industri. Wakaf harus dikembangkan secara optimal dengan pengelolaan profesional produktif untuk mencapai hasil yang nyata dalam kehidupan masyarakat. Langkah awal dalam melaksanakan wakaf produktif ini adalah dengan menghilangkan segala kendala yang dihadapi selama ini dalam mengelola wakaf terutama tidak produktifnya harta benda wakaf nadir yang kurang profesional dan administrasi pengelola wakaf yang tidak tertib. Semua harta wakaf yang mempunyai nilai komersial yang tinggi harus ditata kembali dan hasilnya disalurkan untuk kesejahteraan masyarakat.[8]

3.      Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan Harta Wakaf
            Fungsi dan tugas dalam bidang wakaf adalah untuk memajukan dunia perwakafan di Indonesia, pemerintah melalui Departemen Agama berupaya menjalankan fungsi dan Redengan tuntutan perkembangan masyarakat.
langkah-langkah operasional[9] :
1.      Regulasi peraturan perundang-undangan wakaf
2.      Sosialisasi peraturan perundang-undangan dan paradigma baru wakaf
3.      Sertifikasi, Inventarisasi dan advokasi harta benda wakaf
4.      Peningkatan kualitas Nazhir dan lembaga wakaf
5.      Memfasilitasi jalinan kemitraan investasi wakaf produktif
6.      Memfasilitasi terbentuknya badan wakaf Indonesia
7.      Bantuan proyek percontohan wakaf produktif

4.      Syarat-syarat wakaf
Syarat-syarat wakaf adalah[10]:
a)      Perwakafan benda itu tidak dibatasi untuk jangka tertentu saja, tetapi untuk selama-lamanya
b)      Tujuannya harus jelas
c)      Harus segera dilaksanakan ikrar wakaf dinyatakan oleh waqif tanpa menggantungkan pelaksanaanya pada waktu peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang
d)     Wakaf yang sah wajib dilaksanakan, karena ikrar wakaf yang dinyatakan oleh wakif berlaku seketika dan untuk selama-lamanya
Dilihat dari wujud wakaf di Indonesia dan kepentingan masyarakat di tanah air kita, perwakafan tanah tanah tampaknya mendapat perhatian utama. Oleh karena itu pula dalam Undang-undang Pokok Agraria (UU No.5/1960) diletakkan dasar-dasar pengaturan tanah wakaf di Indonesia, yang kemudian diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.28 Tahun 1977. Dalam PP ini disamping disebutkan pengertian wakaf sebagaimana disebutkan di atas, juga disebutkan fungsi wakaf[11].
Unsur wakaf ada lima, yaitu :
1). Wakif
2). Ikrar
3). Benda yang di wakafkan
4). Tujuan wakaf
5). Nadzir

1.      Wakif
    Menurut PP wakif adalah orang atau orang-orang atau badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya. Wakif itu, jika ia orang atau orang-orang harus memenuhi syarat untuk melakukan tindakan hukum yakni [12] :
·         Dewasa
·         Sehat akalnya
·         Tidak terhalang melakukan tindakan hukum karena dibawah perwakilan, ditahan atau sedang menjalani hukman
·         Atas kehendak sendiri mewakafkan tanahny
·         Pemilik tanah bersangkutan
Badan hukum Indonesia yang dapat menjadi wakif, harus memenuhi syarat yang ditentukan dalam peraturan Pemerintah N0. 38 tahun 1963, yaitu badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, misalnya bank negara, koperasi.

2.      Ikrar
Dalam hubungan ikrar ini, adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanahnya. Menurut PP No. 28 tahun 1977 dan peraturan pelaksanaanya, ikrar wakaf harus dinyatakan secara lisan, jelas, dan tegas kepada nadzir yang telah disahkan di harapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf “Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan dan dua orang saksi. Ikrar lisan ini kemudian harus dituangkan dalam bentuk tertulis.

 Yang dapat dijadikan benda wakaf, adalah tanah hak milik yang bebas dari sgala pembebanan, ikatan, sitaan, dan perkara. Ketentuan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa wakaf adalah sesuatu yang bersifat suci dan abadi, juga agar tidak timbul masalah kemudian hari.[13]

3.      Tujuan Wakaf
Tidak disebut secara rinci dalam PP, hanya dinyatakan sepintas lalu dalam perumusan pengertian wakaf (Pasal 1) yang kemudian disebut dalam pasal 2 waktu menegaskan fungsi wakaf. Menurut PP itu, tujuan perwakafan tanah milik adalah untuk kepentingan peribadidataan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam[14].

4.      Nadzir
Nadzir adalah sekelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurus benda wakaf. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh nadzir perorangan, yaitu [15]:
·         WNI
·         Beragama islam
·         Sudah dewasa
·         Sehat jasmani dan rohani
·         Tidak berada dibawah pengampunan
·         Bertempat tinggal di kecamatan tempat tanah itu di wakafkan.


Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh nadzir badan hukum adalah [16]:
·         Badan hukum indonesia, berkedudukan di indonesia
·         Mempunyai perwakilan di kecamatan tempat tanah itu diwakafkan
·         Sudah disahkan oleh menteri kehakiman dan dimuat dalam berita negara
·         Jelas tujuan dan usahanya untuk kepentingan peribadidataan dan keperluan umum lainnya, sesuai dengan ajaran agama islam.
Nadzir wakaf, baik perorangan maupun badan hukum harus terdaftar pada kantor urusan agama kecamatan setempat. Masa kerjanya tidak mutlak seumur hidup. Seorang nadzir dapat berhenti dari jabatannya, karena[17] :
·         Meninggal dunia
·         Mengundurkan diri
·         Tidak lagi melakukan kewajibannya sebagai nadzir
·         Dibatalkan kedudukannya oleh kepala KUA kecematan karena tidak memenuhi syarat dan melakukan tindak pidana berhubungan dengan jabatan kenadziran.
Nadzir mempunyai kewajiban dan hak-hak. Kewajiban nadzir adalah[18] :
·         Mengurus dan mengawasi harta wakaf dan hasilnya, dengan jalan memelihara tanah wakaf, memanfaatkannya, meningkatkan hasilnya dan menyelenggarakan pembukuan serta administrasi perwakafan
·         Memberi laporan kepada kepala KUA kecamatan
·         Mengusulkan penggantinnya. Haknya adalah menerima penghasilan dari hasil tanah wakaf, tetapi tidak boleh melebihi sepuluh persen dan menggunakan fasilitas tanah wakaf atau hasilnya yang telah di tetapkan oleh Kepala Seleksi Urusan Agama Islam setempat.
Tanah wakaf harus didaftarkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, dapat diubah penggunaan serta statusnya menurut prosedur dan ketentuan lainnya.
5.      Contoh pengelolahan Tanah Wakaf
1.      Pemanfaatan Tanah
Tanah- tanah yang dikuasai/ dimiliki oleh Muhammadiyah di Kalimantan Selatan, oleh masing- masing Cabang. Daerah atau wilayah dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan. Secara garis besar, sesuai dengan klasifikasi seperti yang ditentukan oleh surat Dirjen Agraria No. 593/ 2483/ Agr. Tanggal 22 – 6 – 1982, tanah - tanah wakaf tersebut digunakan untuk[19]:
a.                   Keperluan keperdataan seperti masjid, mushalla/ surau/ langgar.
b.                  Keperluan sosial, seperti sekolah, panti asuhan yatim, rumah sakit.
c.                   Penunjang kegiatan seperti sawah dan kebun.
Secara rinci, pemanfaatan dimaksud dapat dilihat pada tabel 9.
Jumlah persil dilihat dari sudut pemanfaatan ini lebih besar dari jumlah persil yang sesungguhnya seperti tercantum pada tabel 2. Sebabnya ialah dibeberapa lokasi dalam satu persil tanah ditemukan dibeberapa jenis bangunan yang berbeda pemanfaatannya. Misalnya satu persil dimanfaatkan untuk[20]:
·         Rumah sakit dan gedung kantor
·         Masjid dan kantor muhammadiyah
·         Sekolah dan masjid
·         Panti asuhan dan kantor muhammadiyah
Di antara tanah- tanah kosong yang tercantum pada nomor urut 13 tabel 9, termasuk didalamnya sawah- sawah yang tidak digarap lagi dan tanah pekarangan yang terletak didalam kota dan nanti nya akan didirikan bangunan di atasnya.
            Sehubungan dengan tanah kosong yang belum dimanfaatkan oleh muhammadiyah ini, dalam beberapa tahun terakhir muncul satu model masalah baru yaitu dengan berlakunya UU Nomor 12 tahun 1985 tentang pajak bumi dan bangunan. Beberapa persil tanah wakaf yang dikuasai oleh Muhammadiyah, dikenakan pembebanan Pajak Bumi dan Bangunan. Masalah ini muncul disebabkan beberapa faktor, antara lain sebagai berikut[21]:
a.                   Tanah yang diterima muhammadiyah beberapa tahun sebelumnya, sampai saat  terakhir memang belum dibuatkan Akta Ikrar Wakaf, Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf ataupun bentuk surat penyerahan lainnya kepada Muhammadiyah. Dengan demikian tanda bukti hak atas tanah tersebut ( baik berupa segel adat, sertifikat atau tanda lunas penyicilan kapling tanah), tetap atas nama perorangan pemilik lama yaitu si wakif. Tanda bukti hak ini tidak dapat di balik nama karena tidak ada bukti transaksi yaitu pewakafan. Dengan demikian secara formal tanah itu dianggap bukan milik Muhammadiyah, satu badan hukum yang bergerak dalam kegiatan keagamaan, sosial, pendidikan dan kesehatan yang sebenarnya dapat dibebaskan dari pembebanan PBB berdasarkan ketentuan pasal 3 ayat (1) a UU Nomor 12 tahun 1985.
b.                  Walaupun sudah berada ditangan muhammadiyah selama beberapa tahun atau bahkan puluhan tahun, diatas tanah wakaf tersebut belum didirikan satu bangunan pun, baik berupa masjid, mushalla, sekolah atau rumah sakit. Dengan demikian secara rill tidak bisa dibuktikan bahwa diatas tanah tersebut memang akan dibangun sarana pelayanan umum seperti dimaksud oleh pasal 3 ayat (1) a UU Nomor 12 tahun 1985 tersebut diatas. Seandainya sudah terlihat ada bangunan seperti tempat ibadah, sekolah, atau poliklinik, walaupun misalnya tanah tersebuk masih atas nama perorangan, maka persyaratan seperti apa yang dimaksud oleh pasal 3 ayat (1) a ketentuan Undang- Undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan, sedikit banyaknya sudah terpenuhi.
Masalah tanah wakaf yang berkenaan dengan pembebanan PBB ini ditemukan dibeberapa daerah termasuk di Kotamadya Banjarmasin sendiri.

2.      Peralihan pemanfaatan
Jarang sekali terjadi peralihan peruntukan atau pemanfaatan tanah Muhammadiyah di Kalimantan Selatan. Yang terjadi sebenarnya adalah peralihan secara tidak murni atau sekedar pergeseran dari rencana semula, dan pengembangan.
Sekedar beberapa contoh, dapat diuraikan sebagai berikut[22]
a.                   Tanah muhammadiyah di kelurahan Tanjung kabupaten Tabalong, yang semula digunakan untuk madrasah ( oleh pihak yang menyerahkannya disebutkan untuk “ sekolah Arab” ). Beberapa tahun kemudian diubah untuk Sekolah Dasar. Untuk kasus ini, akan di bicarakan lagi pada angka 4 mengenai sengketa tanah.
b.                   Tanah untuk rumah sakit islam banjarmasin yang semula dimaksudkan untuk membangun rumah sakit, beberapa tahun kemudian setelah rumah sakit itu sendiri berdiri, di atasnya di bangun lagi gedung pertemuan umum yaitu Gedung Serba Guna Aisyiyah dan kepada pihak lain, dalam hal inin Uniska ( Universitas Islam Kalimantan Syehk Muhammad Arsyad Al- Banjari ) diberi izin untuk membangun gedung kuliah ( dipinjamkan untuk jangka waktu terbatas).
Dalam kedua contoh diatas, prosedur yang ditempuh oleh Muhammadiyah ialah, cukup dengan keputusan pimpinan persyarikatan di tingkat yang bersangkutan. Dalam hal ini tidak meminta izin lebih dahulu dari kanwil Depak Kalsel melalui kepala KUA kecamatan misalnya. Juga tidak meminta persetujuan wakif- wakif atau penyumbang sebelumnya.

3.      .Peralihan hak tanah
Yang di maksud peralihan hak di sini: dapat dua macam, yaitu[23]:
a.                   Peralihan dalam bentuk i jual kembali oleh Muhammadiyah, ditukarkan, diwakafkan lagi atau cara lainnya.
Peralihan model ini pernah terjadi, dan berikut ini dikemukakan beberapa contoh.
1)                  Di kabupaten hulu sungai utara ( di Alabio ) , sebagian tanah sawah muhammadiyah diwakafkan lagi untuk kepentingan umum atau kemaslahatan rekan lebih luas. Dalam hal ini untuk membuat kerokan irigasi atas saluran air.
2)                  Di kotamdya Banjarmasin dan beberapa kabupaten lainnya, Muhammadiyah juga mewakafkan beberapa meter ( memanjang ) tanah kompleks pendidikan atau tempat peribadatannya untuk jalanan umum ( gang, jalan tembus ). Hal ini dilakukan muhammadiyah karena menyadari kemaslahatan yang lebih besar, walaupun kemudian yang menjalani jalanan tersebut tidak perduli orang islam atau orang kafir.
3)                  Di kabupatewn Tabalong, pada tanggal 8-4-1984 pimpinan muhammadiyah cabang tanjung menerima tanah wakaf dari MJ seluas 2.100 m2 yang terletak di kelurahan Belimbing Raya.
Pada tahun 1985 tanah ini kemudian ditukarkan dengan sebidang tanah seluas 2.400 m2 yang terletak di desa Mabuun ( tukar sama,msing- masing pihak tidak menambah uang ). Pertukaran ini dengan persetujuan / sepengetahuan wakif, tapi tanpa meminta izin kepada kanwil Depak Kalsel.
b.                   Peralihan hak dalam bentuk perubahan status, misalnya dari hak pakai menjadi hak milik atau sebaliknya, dan seterusnya. Contoh mengenai hal ini adalah tanah masjid Al- jihad, ditingkatkan dari hak pakai menjadi hak milik. Sedangkan tanah untuk Kompleks Sekolah Muhammadiyah Cempaka II sudah di setujui peningkatan haknya dari hak pakai menjadi hak milik dengan surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No.142/HM/DA/88 tanggal 15 Agustus 1988, tapi sertifkatnya masih dalam proses.
4.                   Mengandalkan Harta Wakaf
Seorang dermawan dikota banjarmasin menyerahkan tanah miliknya yang terletak sekitar 20 km di luar kota kepada pimpinan cabang Muhammadiyah Banjarmasin IX/A. Y ani. Tanah seluas 2 ha. ( 20.000 m2 ) ini di peruntukan sebagai tanah pekuburan ( maqbarah ). Kemudian pengelolahan tanah maqbarah ini di serahkan kepada pinpinan muhammadiyah daerah kota madya banjarmasin Majelis PKU Urusan jenazah. Selanjutnya di keluarka “ kartu wakaf maqbarah ) dengan nilai setiap lembarnya Rp 10.000,-. Seperti halnya contoh pada angka 3 f bab ini tentang cara memperoleh Tanah, maka setiap pemegang kartu wakaf, memperoleh hak untuk di makamkan di maqbarah tersebut. Tetapi karena tanah tersebut tidak di beli seperti contoh pada angka 3 f maka seluruh dana dari kartu wakaf tersebut diterima oleh pengelola. Dana yang terkumpul dimaksudkan untuk di kembangkan menjadi harta wakaf lainnya, yaitu[24]:

a)      Menunjang pembangunan masjid “ Al- Mukhlisin” dilingkungan muhammadiyah cabang Banjarmasin IX.
b)      Dibelikan lagi kepada tanah yang berdampingan dengan lokasi maqbarah yang telah ada sebanyak 2.918 m2 sebagai perluasan area semula. Pembayaran harga tanah ini dilakukan dengan dana pinjaman para dermawan lainnya. Dengan masuknya uang harga kartu wakaf maqbarah, maka pinjaman ini dibayar secara berangsur,
c)      Perbaikan mutu lokasi maqbarah, misalnya dengan membeli pasir untuk pengurungan ddan peningkatan sarana pelayanan bagi mereka yang akan menguburkan jkenazah keluarganya seperti akan membeli mobil jenazah.
Dengan pengembangan pemanfaatan harta wakaf yang ada, maka harta wakaf menjadi berganda, baik jenisnya maupun jumlahnya. Contoh ini merupakan kasus pewakafan yang cukup rumit konstruksinya ( contoh kartu wakaf maqbarah ini, lihat lampiran XVII ).
5.      Sengketa Tanah Wakaf
Karena tanah wakaf yang dikuasai oleh muhammadiyah cukup banyak dan tersebar diseluruh kabupaten di Kalimantan Selatan dan melalui rentang waktu yang lama, maka tidak bisa dihindari, dialami juga beberapa sengketa dengan pihak- pihak tertentu.  dialami,kebanyakan dengan ahli waris waris si wakif atau dengan si wakif sendiri.
Dari pengumpulan data dilapangan ditemukan tiga model sengketa yang pernah terjadi dengan contoh sebagai berikut ini[25]:
a.                   Sengketa tanah wakaf di Banjarbaru
Pada tanggal 30 januari 1967 seorang dermawan dibanjarmasin mengadakan sebidang tanah miliknya di banjarbaru seluas 5610 m2 ( 30 x 187 m) kepada pimpinan muhammadiyah cabang banjarbaru. Perwakafan dilakukan diatas segel surat tanda penyerahan hak milik yang masing- masing ditandai oleh kedua belah pihak, dua orang saksi, dan di ketahui ( ikut ditandatangani ) oleh kepala kampung loktabat banjarbaru dan kepala KUA kecamatan banjarbaru. Tanah ini terletak dipinggir jalan raya kota banjarbaru.
Dalam segel penyerahan disebutkan bahwa tanah tersebut akan digunakan untuk:
·                     Masjid
·                     Sekolah islam
·                     Balai pengobatan, dan
·                     Rumah sakit
Pihak pertama ( wakif ) menyerahkan juga surat- surat hak milik semula yang ada ditangannya. Tidak ada syarat- syarat lainnya dalam segel penyerahan tersebut selain jenis pemanfaatan seperti di atas.
Pada tahun 1968, pimpinan muhammadiyah cabang banjarbaru mulai melakukan langkah- langkah persiapan antara lain dengan membuat rencana biaya pembangunan sekolah dan pengumuman- pengumuman kepada warga muhammadiyah. Tapi persiapan ini terhenti tanpa satu kemajuan yang berarti. Kemudian tanggal 1 januari 1980, barulah pimpinan muhammadiyah cabang banjarbaru secara resmi membentuk satu susunan panitia pembangunan masjid muhammadiyah banjarbaru dengan surat keputusan No. 018/PMC/Wkf Pan/I/1980 tanggal 12 shafar 1400 H = 1 januari 1980.
Pada tanggal 15 september 1980, si wakif semula menulis surat kepada pimpinan muhammadiyah cabang banjarbaru bahwa yang bersangkutan memberi waktu satu tahun lagi sejak diterimanya surat ini. Kalau dalam waktu satu tahun muhammadiyah tidak berhasil merealisasikan rencananya untuk membangun masjid / madrasah dan harus selesai 100% , maka wakif akan menarik kembali tanah wakaf di maksud. Alasan utama penarikan ini menurut wakif adalah karena setelah lebih dari 13 tahun diserahkan, tanah tersebut beelum berhasil di manfaatkanoleh muhammadiyah. Padahal maksud berwakaf adalah agar tanah tersebut dimanfaatkan sebaik- baiknya untuk masjid atau lainnya, sehingga wakif menerima pahalanya ( amal jariah ) sejak masih hidup.
Selanjutnya pada tanggal 11 april 1981, pimpinan muhammadiyah cabang banjarbaru menyurati siwakif menguraikan kembali proses penyerahan wakaf tahun 1967dengan dalil- dalil agama. Disebutkan bahwa niat murni wakif sah adanya, dan telah diterima Tuhan, dan karenanya tidak dapat dan tidak patut ditarik kembali ( mengenai hal ini akan dibicarakan lagi dalam bab 5 ). Kemudian pada tanggal 20 februari 1982 pimpinan muhammadiyah cabang banjarbaru menyurati wakif lagi, memberitahukan tentang akan dibangunnya masjid dalam waktu dekat.
Namun demikian pada tanggal 5 maret 1982 wakif mengirim surat kepada pimpinan muhammadiyah cabang banjarbaru menyatakan kekhawatirannya tentang perkembangan tanah wakaf yang setelah 15 tahun belum di bangun. Karena itu wakif bermaksud memindahtangankan tanah wakaf itu kepada panitia tersebut sampai terjadinya sengketa, dengan maksud lain yang sudah siap membangun gedung untuk kepentingan syiar islam pada tahun 1982/1983 dan biayanya sudah tersedia. Surat ini tembusannya disampaikan kepada[26]:
·                     Gubernur kdh.Tk.I Kalsel
·                     Walikota Administrasi Banjarbaru
·                     Kantor Dep. Agama Kabupaten Banjar
·                     Camat Banjarbaru
·                     Kepala KUA kecamatan banjarbaru
Pada tanggal 20 mei 1982 panitia pembangunan masjid Ar- Rahim yang dibentuk oleh pimpinan muhammadiyah cabang banjarbaru mengirim surat kepada kepala dinas PU Kotamadya Banjarbaru memberitahukan rencana pembangunan masjid, dan sementara itu meninta izin membangun gudang untuk menampung bahan bangunan sumbangan masyarakat yang sudah mulai mengalir. Dan seterusnya pimpinan muhammadiyah wilayah kalimantan selatan mengirim surat kepada Gubernur Kdh. Tk. I Kalsel melaporkan secara kronologis tentang tanah wakaf dibanjarbaru agar dapat diberi pertimbangan seperlunya.
Sampai tahun 1986, sengketa tersebut belum selesai secara tuntas, walaupun pimpinan muhammadiyah cabang banjarbaru ternyata telah berhasil membangun gedung sekolah di tanah wakaf tersebut ( madrasah ibtidaiyah dan Tsanawiyah/ Wustha, dan SMP ).
b.                   Sengketa tanah di Tanjung
Sebelum tahun 1977, H.Dj. menyerahkan sebidang tanahnya yang terletak di kelurahan tanjung kepada muhammadiyah cabang tanjung, untuk “ Sekolah Arab” (maksudnya sekolah untuk mempelajari agama islam dan bahasa arab). Pada sekitar tahun 1980-an sekolah yang ada diubah menjadi SD. Karena itu HH salah seorang keluarga H. Dj. ( yang telah meninggal dunia ) menggugat pihak muhammadiyah agar mengembalikan tanah tersebut. Alasannya karena[27] :
1)                  Tujuan semula tidak di pegang oleh muhammadiyah (dari “sekolah Arab” diubah menjadi SD).
2)                  Menurut penggugat, tanah tersebut dahulu hanya di pinjamkan saja, tidak diwakafkan untuk selama-lamanya.
Dalam hal ini ada niatan dari pihak muhammadiyah untuk menyerahkan kembali tanah tersebut beserta bangunan yang ada di atasnya, kalau gedung baru yang dibangun oleh muhammadiyah dilokasi tanah lain sudah selesai. Tapi penyerahan kembali ini belum terlaksana.
c.                   Sengketa Tanah di Alabio
Lebih dari 20 tahun yang lalu Tm. Mewakafkan sebidang tanah miliknya yang terletak di desa sungai Tabukan/Galagah kecamatan sungai pandan kepada muhammadiyah cabang sungai tabukan. Tm. Mempunyai anak bernama Drm. Mempunyai seorang anak bernama Roh.[28]
Setelah wakif (Tm) dan Drm. Meninggal, maka Roh. ( cucu wakif ) tahun 1983/84 menuntut muhammadiyah agar menyerahkan tanah yang dulu milik kakeknya tersebutkepadanya. Roh juga mengadukan muhammadiyah kepada kepolisian kecamatan sungai pandan dan pengadilan agama kabupaten hulu sungai utara di amuntai. Berpuluh- puluh tahun setelah tanah tersebut diwakafkan, muhammadiyah masih memberi izin Roh untuk menanam pisang dan kelapa ditanah tersebut. Jaddi selama puluhan tahun Roh menikmati hasil tanaman diatas tanah wakaf tersebut. Kepala desa yang ikut serta memproses penyerahan wakaf dahulu, secara objektif membela muhammadiyah. Kemudian adik Roh sendiri ( Abd, M ) berpihak kepada muhammadiyah. Merasa posisinya lemah, Roh. Kemudian hanya menuntut ganti rugi tanaman yang dipeliharanya di atas tanah tersebut. Pihak muhammadiyah bersedia memberikan ganti rugi, bahkan mengajak kepala desa untuk bersama- sama menaksir berapa ganti rugio yang layak. Tetapi adik Roh sendiri Abd.M. berkeras melarang muhammadiyah memberikan ganti rugi, sehingga muhammadiyah tidak jadi memberikan ganti rugi tersebut. Akhirnya sampai semua tanaman yang ada di atas tanah wakaf tersebut dibersihkan, Roh. Tidak menerima apapun. Dan masalah ini sampai sekarang di anggap selesai.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Wakaf sebagai perbuatan hukum sudah lama melembaga dan dipraktikkan di Indonesia. Diperkirakan lembaga wakaf ini sudah ada sejak Islam masuk ke Nusantara kemudian berkembang seiring dan sejalan dengan perkembangan agama Islam di Indonesia.pengaturan tentang sumber hukum, tata cara, prosedur, dan praktik perwakafan dalam bentuk peraturan masih relatif baru, yakni sejak lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria.
            Kemudian pada tanggal 27 Oktober 2004 Presiden SBY mengesahkan UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam UU ini diatur tentang semua hal tentang wakaf, diantanya adalah pengertian wakaf, nadzir, PPAIW,dll.
            Perkembangan wakaf yang awalnya tradisional, diharapkan berkembang menjadi lebih produktif dan tidak hanya tanah saja yang menjadi harta benda wakaf tetapi juga benda bergerak seperti uang, logam mulia, kendaraan, dll.



DAFTAR PUSTAKA

Mohammad Daud Ali, Habibah Daud.1995.Lembaga-lembaga Islam di Indonesia.Raja Grafindo Persada:Jakarta.
Suhrawardi.2010.Wakaf dan Pemberdayaan Umat.Sinar Grafika:Jakarta.
Adijani al-Alabij.1989.Perwakafan tanah di Indonesia.Rajawali Pers:Jakarta.
Abdul Manan.2006.Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia.Kencana:Jakarta.


[1]Suhrawardi. K. Lubis.Wakaf dan Pemberdayaan Umat,Sinar Grafika dengan UMSU publisher,2010. hlm. 22 – 23.
[2]Ibid. hlm. 34.
[3] Ibid.hlm. 41.
[4]Abdul Manan,Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,Kencana, Jakarta, 2006. hlm. 251-252.
[5]Ibid. hlm. 253.
[6]Ibid. hlm. 256.
[7]Ibid. hlm. 274.
[8]Ibid.hlm. 276.
[9]Suhrawardi. K. Lubis.Op. Cit.,hlm. 181-183.
[10]Mohammad Daud,Lembaga – Lembaga Islam di Indonesia,Raja Grafindo Persada,Jakarta. 1995. hlm. 270-271.
[11]Op.Cit.,hlm. 271
[12]Ibid .
[13]Op. Cit.,hlm. 272.
[14]Ibid .
[15] Ibid.
[16]Op. Cit.,hlm. 273.
[17]Ibid.
[18] Ibid.
[19]Adijani al – Alabij,Perwakafan tanah di Indonesia,Rajawali,Jakarta,1995. hlm. 79
[20]Ibid., hlm. 79
[21] Ibid.,hlm. 80.
[22]Ibid. hlm,81.
[23]Ibid. hlm.,82.
[24]Ibid.,hlm,83
[25]Ibid. hlm 84
[26]Ibid.hlm.,87.
[27]Ibid.
[28]Ibid,.hlm. 88-89.

Komentar

  1. izin nge-print....
    untuk bahan diskusi kami Masyarakat Peduli Wakaf Indonesia (MPWI)
    yang baru berdiri, legalitas sedang dalam proses.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silahkan di copy asalkan bermanfaat untuk orang lain saya tidak masalah

      Hapus
  2. artikel saudara sangat bagus....(y)

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih sudah berkunjung ke blog saya

      Hapus
  3. Terimakasih ilmunya sangat membantu..

    BalasHapus
  4. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus

Posting Komentar

Pembaca yang baik selalu berkomentar ..
TERIMA KASIH

Postingan populer dari blog ini

ASAS-ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH, ASAS MATERI MUATAN, LINGKUNGAN BERLAKUNYA HUKUM

Partisipasi Masyarakat Dalam Penegakan HAM